Surabaya 11 Juli 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Proyeksi inflasi medis yang mencapai 13,6 persen pada 2024 menjadi sinyal kuat bahwa sektor kesehatan Indonesia sedang menghadapi tantangan serius. Dibalik tingginya biaya layanan kesehatan, tersimpan persoalan yang lebih mendasar: ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat (active pharmaceutical ingredients/API) yang mencapai 90 persen.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga,, Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo Ph d, inflasi medis bukanlah masalah teknis semata, tetapi masalah struktural yang berkepanjangan.
“Struktur sektor kesehatan kita sangat rentan karena terlalu tergantung pada bahan baku impor. Ini membuat harga obat sangat sensitif terhadap perubahan nilai tukar dan krisis global,” jelas Prof Rossanto.
Ia menambahkan, berbeda dengan sektor pangan yang bersifat musiman dan fluktuatif, inflasi di sektor medis bersifat persisten. Harga cenderung tetap tinggi dalam jangka panjang karena struktur pasarnya oligopolistik, bahkan dalam beberapa kasus bersifat monopolis.
Industri Farmasi Masih Hilir
Persoalan mendasar lainnya terletak pada struktur industri farmasi nasional. Sebagian besar perusahaan farmasi di Indonesia hanya meracik obat, bukan memproduksi bahan bakunya. Artinya, industri farmasi nasional masih beroperasi di sektor hilir.
“Industri farmasi kita padat modal dan belum punya infrastruktur yang memadai untuk masuk ke hulu. Perusahaan kita hanya meracik, bahan bakunya masih dari luar negeri,” ujar Prof Rossanto.
Dampak ke Daya Beli
Lonjakan harga di sektor medis, menurut Prof Rossanto, bukan hanya membebani masyarakat tetapi juga berpotensi menggerus daya beli, meningkatkan angka kemiskinan baru, serta memperberat beban negara dalam menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Kalau harga obat terus naik, kelompok masyarakat rentan tidak mampu membeli. Ujungnya, negara harus menanggung subsidi lebih besar, dan ini berisiko pada APBN,” paparnya.
Jika subsidi meningkat tajam, pemerintah harus melakukan efisiensi di sektor lain atau bahkan mengurangi jumlah penerima manfaat JKN. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi masalah sosial maupun politik karena menyangkut pemenuhan hak dasar masyarakat.
Strategi Jangka Pendek
Sebagai solusi jangka pendek, pakar ekonomi tersebut menyarankan agar masyarakat diarahkan untuk mengakses layanan kesehatan pemerintah, seperti puskesmas dan klinik BPJS, di mana obat generik tersedia dan terjangkau. “Obat generik itu sebenarnya sudah terjangkau. Masalahnya, banyak masyarakat langsung membeli obat bebas yang sifatnya paten dan mahal. Padahal, jika ke puskesmas, mereka bisa dapat resep yang sesuai dan lebih murah,” katanya. (naf)