Surabaya 8 September 2023 | Draft Rakyat Newsroom –Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan salah satu
penyakit dengan risiko kematian tertinggi di dunia, terutama di negara berkembang. Bukan
hanya itu, PTM juga bersifat katastropik sehingga selain memiliki risiko tinggi pada kematian
juga memerlukan biaya penanganan tinggi yang tidak murah.
Menanggapi kompleksitas risikonya, Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr
DraEc Thinni Nurul Rochmah MKes mengusulkan penanganannya dari akar. Usul itu ia
sampaikan saat pengukuhannya sebagai guru besar dengan tajuk Minimalisasi Beban
Ekonomi Akibat Sakit pada Penyakit Tidak Menular (Tinjauan Ekonomi Kesehatan) pada
Kamis (7/9/2023).
“PTM merupakan penyakit yang bersifat katastropik karena seringkali memerlukan waktu
perawatan yang sangat lama sehingga memerlukan biaya yang sangat besar dan sering kali
membuat penderitanya jatuh miskin,” jelasnya.
Penyakit PTM yang paling banyak menjangkit dengan angka penyintas yang terus
berkembang adalah penyakit jantung dan stroke. Menurutnya, penanganan yang tepat
bukanlah pengobatan, melainkan mencabut penyebab dari akarnya.
Berpengaruh pada Ekonomi Masyarakat dan Negara
Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana besar untuk menangani PTM melalui
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jika terakumulasi, kedua penyakit
itu telah menghabiskan lebih dari setengah dari total dana yang teralokasi.
“Pada tahun 2020, BPJS Kesehatan telah mengeluarkan biaya sekitar 20 triliun rupiah untuk
menangani penyakit katastropik. Klaim penyakit jantung dan stroke sebesar 62,2 persen dari
dari total klaim biaya penanganan,” ujarnya.
Biaya yang terhitung itu merupakan biaya langsung pelayanan medis. Padahal, banyak biaya
tak langsung lain seperti hilangnya produktivitas penderitanya. Akumulasi biaya-biaya itu
menyebabkan kerugian yang bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga pada masyarakat pada
umumnya.
“Jika semua biaya terkalkulasi, bisa terlihat bahwa betapa besarnya kerugian ekonomi akibat
penyakit jantung dan stroke yang haru masyarakat dan negara tanggung,” lanjutnya.
Belum Efektifnya Program Pemerintah
Sebagai upaya menekan angka penderita penyakit PTM, Pemerintah Indonesia telah
melakukan sejumlah terobosan, salah satunya Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat).
Sayangnya, upaya ini belum berjalan optimal sesuai dengan harapan awalnya.
Maka dari itu, bersamaan dengan orasinya itu ia mengharuskan adanya upaya pencegahan
dan promosi lebih optimal lagi. Ia berkaca pada negara maju yang mengambil langkah
pencegahan dan bukan hanya membesarkan fokus pada upaya pengobatan.
“Bahkan di Inggris berhasil mencapai penghematan biaya dan pengurangan risiko penyakit
jantung koroner hanya dengan melakukan reformulasi kandungan garam dalam masyarakat
yang beredar di masyarakat.”
“Oleh karena itu, intervensi program preventif dan promotif perlu dorongan lebih agar
kualitas hidup masyarakat dapat meningkat. Pada akhirnya, dapat menurunkan kebutuhan
pembiayaan kesehatan pada program kuratif dan rehabilitatif,” pungkasnya.(naf)