Surabaya 21 Agustus 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa pajak sama mulianya dengan zakat dan wakaf menuai perhatian publik. Sebagian menganggap pernyataan itu menegaskan pentingnya pajak bagi pembangunan, namun sebagian lain menilai penyamaan tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan, khususnya bagi umat beragama.
Perspektif Teologis
Menanggapi hal tersebut, Dosen Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Dr Irham Zaki S Ag M EI, menekankan perlunya pemahaman bijak antara kewajiban agama dan kewajiban negara. Menurutnya, zakat dan pajak memang sama-sama memiliki fungsi sosial, tetapi secara prinsip keduanya memiliki perbedaan mendasar.
“Kita harus sadar bahwa ada kewajiban yang datang dari perintah agama, ada pula kewajiban dari negara. Sebagai warga negara yang baik, dua-duanya harus dijalankan. Tetapi bukan berarti derajatnya sama,” tegasnya.
Menurutnya, jika dikatakan sama-sama mulia dalam konteks pemberdayaan masyarakat, hal itu bisa dipahami. Namun jika disamakan secara umum, justru kurang bijak. “Harus berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Umat Islam meyakini ajaran agamanya pasti mendatangkan kemaslahatan. Jika zakat dikelola lebih terintegrasi dan diawasi negara, manfaatnya akan semakin besar bagi semua,” pungkasnya.
Perspektif Fiskal
Meski berbeda, Irham tidak menutup kemungkinan zakat menjadi bagian dari instrumen fiskal negara. Menurutnya, jika dikelola dengan regulasi yang baik, zakat dapat menjadi sumber penguatan keuangan publik sekaligus menekan ketimpangan sosial. Namun, ia juga menyoroti kelemahan kebijakan saat ini. Zakat baru dihitung sebagai pengurang penghasilan kena pajak, bukan pengurang langsung pajak terutang.
“Misalnya penghasilan kita Rp200 juta per tahun. Kalau zakatnya Rp20 juta, maka penghasilan kena pajaknya berkurang menjadi Rp180 juta. Artinya, beban pajaknya masih tetap besar. Jadi zakat belum benar-benar meringankan,” jelasnya.
Menurutnya, akan jauh lebih adil jika zakat diposisikan sebagai pengurang langsung pajak penghasilan. “Kalau pajak yang harus dibayar Rp30 juta, sedangkan kita sudah bayar zakat Rp20 juta, maka tinggal Rp10 juta saja kewajiban pajaknya. Itu akan lebih signifikan dampaknya,” tambahnya.
Implikasi Kebijakan Ia menilai integrasi zakat dalam sistem perpajakan membutuhkan kerangka hukum yang lebih jelas. Revisi Undang-Undang Zakat, misalnya, bisa mempertimbangkan pengaturan sanksi bagi muzakki agar kewajiban zakat memiliki kepastian hukum, bukan hanya bagi pengelola zakat (amil). “Kalau zakat masuk ke instrumen fiskal, negara hadir lebih kuat dalam pengawasan dan pemanfaatannya,” katanya.(far)