Surabaya 27 Nopember 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Isu mengenai kandungan mikroplastik pada air hujan di Kota Surabaya baru-baru ini menjadi perhatian publik. Perbincangan tersebut muncul setelah hasil penelitian menunjukkan adanya partikel mikroplastik pada air hujan yang turun di beberapa wilayah. Banyak pihak mempertanyakan apakah temuan tersebut merupakan ancaman baru bagi kesehatan dan lingkungan.
Menanggapi isu tersebut, Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga Dwi Ratri Mitha Isnadina ST MT menegaskan bahwa keberadaan mikroplastik pada air hujan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Fenomena ini, menurutnya, telah ditemukan di banyak negara dan merupakan bagian dari dinamika lingkungan global.
“Mikroplastik sudah banyak teridentifikasi pada media air seperti sungai maupun laut. Ketika air mengalami penguapan, partikel-partikel ini dapat terbawa ke atmosfer dan akhirnya kembali turun bersama hujan. Jadi, temuan mikroplastik pada air hujan di Surabaya bukanlah hal baru yang sulit diprediksi,” jelasnya.
Asal Usul Mikroplastik
Ratri menerangkan bahwa mikroplastik merupakan partikel plastik berukuran 1 mikrometer hingga 5 milimeter. Sementara partikel yang lebih kecil dari 1 mikrometer dikategorikan sebagai nanoplastik. Berdasarkan sumbernya, mikroplastik dibedakan menjadi dua jenis, yakni primer dan sekunder. “Primer itu sejak awal berukuran mikro, misalnya butiran scrub pada produk sabun wajah. Kalau sekunder berasal dari degradasi plastik berukuran besar,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa mikroplastik dapat berasal dari banyak aktivitas manusia, termasuk proses pembakaran sampah. Pembakaran yang dilakukan secara terkontrol di fasilitas resmi pada umumnya dilengkapi dengan unit pengelolaan gas buang. Namun, pembakaran sampah secara terbuka berpotensi melepas lebih banyak partikel ke atmosfer karena tidak ada sistem pengendalian.
Dampak terhadap Ekosistem
Pakar Teknik Lingkungan itu menegaskan bahwa paparan mikroplastik tidak menimbulkan efek langsung terhadap tubuh manusia dalam jangka pendek. Namun, dampaknya terhadap ekosistem jauh lebih signifikan dan perlu diwaspadai.
“Air hujan yang mengandung mikroplastik akan mengalir sebagai air limpasan menuju ekosistem air. Di sana, mikroplastik dapat termakan oleh biota seperti ikan, dan pada akhirnya masuk kembali ke tubuh manusia melalui rantai makanan,” ungkapnya.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa mikroplastik dapat mengadsorpsi logam berat serta polutan berbahaya lainnya. Beberapa kajian ilmiah mengaitkan mikroplastik dengan inflamasi hingga gangguan kardiovaskular, meskipun penelitian mengenai dampaknya terhadap kesehatan manusia masih belum konklusif.
Ratri menilai bahwa pengurangan mikroplastik tidak hanya bergantung pada perubahan perilaku konsumen, tetapi terutama pada kebijakan yang mengatur produsen. Ia menambahkan bahwa perkembangan penelitian mikroplastik di Indonesia masih terus berjalan. “Jika kelak mikroplastik menjadi fokus regulasi, maka parameter pengukurannya akan semakin jelas dan intensif.,” ucapnya.
Ratri mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak mudah terpancing isu viral tanpa pemahaman yang memadai. “Masyarakat harus mencari informasi lebih dalam dan tidak langsung panik. Penting untuk memahami apakah fenomena ini benar-benar baru atau memang sudah terjadi sejak lama. Dengan literasi yang baik, kita bisa merespons informasi dengan lebih bijak,” pungkasnya.(far)
