Surabaya 5 Agustus 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Belakangan beredar wacana pemilihan kepala daerah: Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan melalui pemilihan di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing daerah. Wacana ditanggapi dengan beragam pendapat. Ada yang pro. Ada yang kontra.
Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan batu uji dan prinsip pemilihan pemimpin atau kepala daerah secara demokratis itu apakah memang harus selalu dilakukan secara langsung oleh rakyat, one man one vote?
Pertama, pemilihan melalui perwakilan, dalam hal ini dilakukan oleh anggota DPRD di Gedung DPRD, dapat diklasifikasikan sebagai proses yang demokratis. Karena sistem ini berakar pada demokrasi perwakilan. Sebuah prinsip dasar dalam banyak sistem pemerintahan modern.
Kedua, dalam demokrasi perwakilan, warga negara tidak secara langsung membuat keputusan politik. Tetapi memilih individu-individu, yaitu wakil rakyat, melalui Pemilu Legislatif yang menghasilkan anggota DPRD, untuk kemudian menugaskan mereka membuat keputusan atas nama mereka.
Demokrasi Perwakilan
Argumentasi utamanya adalah: Legitimasi proses ini berasal dari rakyat sendiri. Anggota DPRD sudah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu Legislatif. Dengan memilih anggota DPRD, rakyat telah memberikan mandat kepada mereka untuk menjalankan tugas-tugas legislatif dan perwakilan. Termasuk tugas pewakilan untuk memilih kepala daerah. Oleh karena itu, ketika anggota DPRD memilih Gubernur, Bupati, atau Walikota, mereka sebenarnya sedang menjalankan kehendak rakyat yang diwakili.
Jujur harus diakui, pemilihan melalui perwakilan dianggap lebih efisien dan praktis daripada pemilihan langsung. Efisien, karena proses pemilihan langsung membutuhkan sumber daya (dana, waktu, logistik) yang sangat besar dan terus meningkat dari pemilu ke pemilu. Pemilihan oleh DPRD dapat menyederhanakan proses ini dan mengurangi biaya yang ditanggung negara yang bersumber dari uang rakyat.
Anggota DPRD, sebagai wakil rakyat yang telah terpilih, diasumsikan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang kualifikasi dan rekam jejak kandidat kepala daerah. Mereka dapat melakukan evaluasi yang lebih cermat terhadap visi, misi, dan program kerja para calon, yang mungkin sulit dilakukan oleh masyarakat umum secara menyeluruh dalam skup wilayah yang luas. Pencermatan yang dilakukan oleh anggota DPRD itu memungkinkan terpilihnya pemimpin yang lebih kompeten dan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Kelemahan Demokrasi Langsung
Sebaliknya, demokrasi langsung, terutama dalam skala besar dan wilayah yang luas (bukan pemilihan kepala desa), memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, tirani mayoritas. Dalam pemilihan langsung, suara mayoritas bisa mengesampingkan kepentingan minoritas. Wakil rakyat, dengan tugasnya mewakili seluruh konstituen, diharapkan dapat menyeimbangkan kepentingan berbagai kelompok.
Kedua, emosional. Pemilihan langsung rentan terhadap popularitas yang dibentuk dan kampanye yang digunakan kerap mengandalkan sentimen emosional daripada substansi. Anggota DPRD, dalam proses pemilihan, diharapkan dapat lebih fokus pada rasionalitas dan kriteria objektif.
Ketiga, partisipasi rendah. Dalam pemilihan langsung, sering kali partisipasi pemilih rendah. Dengan menyerahkan pemilihan kepada perwakilan terpilih, pengambilan keputusan tetap berjalan meskipun partisipasi pemilih dalam proses awal (pemilihan DPRD) mungkin tidak dihadiri 100% pemilih.
Dengan demikian, meskipun tidak melibatkan seluruh penduduk secara langsung dalam setiap tahapan, pemilihan melalui perwakilan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini karena kekuasaan tetap berada di tangan rakyat yang telah mendelegasikan wewenang mereka kepada wakil-wakil terpilih untuk membuat keputusan yang terbaik bagi kepentingan daerah.
Wakil Rakyat Independen
Untuk memperkuat dan memperluas basis keterwakilan rakyat yang dimandatkan kepada anggota DPRD, maka perlu dibuka peluang anggota DPRD tidak hanya berasal dari anggota Partai Politik. Tetapi juga dari unsur non-partai atau perseorangan.
Sehingga peserta Pemilu Legislatif nantinya di seluruh tingkatan, baik DPR RI, DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota diikuti oleh Peserta Pemilu dari Unsur Anggota Partai Politik dan Peserta Pemilu dari Unsur Non-Partai atau Perseorangan.
Sehingga kamar DPR RI, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dihuni juga oleh anggota dari unsur non-partai. Ini sudah diterapkan di beberapa negara (12 negara di Uni Eropa dan Afrika Selatan), dimana DPR mereka juga dihuni oleh anggota dari unsur non-partai yang juga dipilih melalui pemilu legislatif.
Kembali ke pemilihan kepala daerah melalui perwakilan (secara tidak langsung). Di beberapa negara juga diterapkan. Tetapi variasi dan polanya berbeda-beda. Sistem ini juga ditemukan di negara-negara yang menganut sistem parlementer atau pemerintahan lokal dengan model “council-manager”.
Amerika Serikat: Meskipun banyak walikota dipilih secara langsung, beberapa pemerintahan daerah di AS, terutama yang menggunakan sistem Council-Manager Government, memilih kepala eksekutif (disebut manajer kota) melalui dewan perwakilan. Manajer kota ini merupakan seorang profesional yang ditunjuk dan bertanggung jawab kepada dewan kota, bukan dipilih langsung oleh rakyat.
Belanda: Kepala daerah seperti walikota dan komisaris raja di provinsi diangkat oleh pemerintah pusat, meskipun dewan perwakilan rakyat daerah berperan dalam proses pencalonannya. Ini adalah bentuk lain dari pemilihan tidak langsung di mana rakyat tidak memilih secara langsung.
Negara-negara Persemakmuran: Seperti Malaysia dan Singapura, sistem pemerintahan lokal seringkali tidak melibatkan pemilihan langsung kepala daerah oleh rakyat. Sebaliknya, anggota dewan lokal atau parlemen dapat memiliki peran dalam menunjuk atau mengangkat pejabat eksekutif daerah.
Jadi, demokratis itu bisa juga melalui perwakilan. Seperti termaktub dalam Sila Keempat Pancasila. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
Penulis adalah Anggota MPR RI/DPD RI dan Ketua DPD RI ke-5, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.