Surabaya 27 Nopember 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan Konferensi Nasional Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada Selasa (25/11/2025) di Gedung AG Pringgodigdo, Kampus Dharmawangsa-B UNAIR. Kegiatan ini mengangkat tema Keadilan Gender dalam Politik Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak: Kritik, Praktik, dan Harapan. Peserta dari kalangan civitas academica serta pusat studi di lingkungan FH UNAIR hadir dengan antusias dalam kegiatan tersebut.
Konferensi ini melibatkan Center for Anti Corruption and Criminal Law Policy (CACCP), Pusat Studi Kejaksaan dan Keadilan Restoratif (PUSKADIRA) serta Pusat Studi Hukum Kesehatan, Etik, dan HAM FH UNAIR (PSHK). Selain itu, konferensi ini juga menghadirkan pembicara tingkat nasional seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Keterlibatan lembaga-lembaga tersebut menunjukkan semakin kuatnya komitmen nasional untuk memastikan bahwa agenda penghapusan kekerasan sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan SDGs. Khususnya SDG 5 (Kesetaraan Gender), SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh), dan SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan).
Ketua panitia, Amira Paripurna, SH LLM PhD menegaskan bahwa peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan konferensi ini bukan sekadar simbol, tetapi tindakan intelektual dan politik. “Kami ingin memastikan bahwa hukum tidak berhenti sebagai teks, tetapi bekerja untuk melindungi tubuh dan kehidupan perempuan serta anak. Konferensi ini adalah ruang untuk membangun keberanian kolektif dan mendorong transformasi struktural agar keadilan benar-benar dirasakan di tingkat akar rumput,” tuturnya.
Reformasi Hukum Berperspektif Gender
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga dalam lingkaran terdekat seperti keluarga dan relasi personal. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan bersifat sistemik dan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem hukum yang kuat, responsif, dan berperspektif korban.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum RI Dr Arfan Faiz Muhlizi SH MH yang membawakan materi “Reformasi Hukum Berperspektif Gender: Dari Instrumen Perlindungan Menuju Sistem Keadilan Substantif” menuturkan bahwa reformasi hukum tidak boleh dimaknai sebatas pembentukan regulasi baru.

“Hukum tidak hanya soal norma tertulis, tetapi juga bagaimana regulasi bekerja dalam realitas sosial. Ia menegaskan pentingnya memastikan suara masyarakat masuk dalam proses legislasi secara bermakna. Prinsip vox populi vox dei harus dijaga agar tidak berubah menjadi alat legitimasi kepentingan sempit,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arfan menjelaskan perbedaan antara keadilan prosedural dan keadilan substantif dalam konteks perlindungan perempuan dan anak. Keadilan prosedural menekankan pada kepatuhan terhadap formalitas hukum, sementara keadilan substantif berorientasi pada dampak dan keadilan nyata bagi korban. Menurutnya, hukum harus bergerak dari sekadar equality before the law menuju equality of outcome.
Ia juga mengutip teori keadilan John Rawls, yang menyatakan bahwa ketidaksamaan hanya dapat dibenarkan jika memberi keuntungan bagi kelompok yang paling tidak diuntungkan. Dalam konteks gender, hal ini berarti kebijakan hukum harus mampu memperkuat posisi kelompok rentan, termasuk perempuan korban kekerasan. Prinsip ini penting sebagai panduan dalam politik hukum nasional.
Evaluasi Regulasi Berbasis Bukti
Arfan juga menyoroti pentingnya evidence-based regulation dalam pembentukan dan evaluasi peraturan perundang-undangan. Menurutnya, jumlah regulasi yang terus bertambah tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas perlindungan hukum. Oleh karena itu, evaluasi terhadap peraturan yang sudah ada menjadi sangat krusial.
Ia menjelaskan bahwa ex-post review merupakan tahap penting dalam siklus regulasi modern. “Evaluasi ini berbasis pada data empiris, temuan ilmiah, serta masukan para ahli. Hal ini sejalan dengan pandangan OECD dan teori legislasi Ann & Robert Seidman tentang perlunya evaluasi sebelum perubahan regulasi dilakukan,” jelasnya.
Arfan menegaskan bahwa keadilan substantif tidak boleh mengesampingkan keadilan prosedural. Menurutnya, keduanya justru harus berjalan seimbang dan saling menguatkan. Prosedur yang adil tetap diperlukan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Ia menilai bahwa tantangan reformasi hukum saat ini adalah membangun sistem dan institusi hukum yang adil secara struktural. Tanpa reformasi kelembagaan, keadilan substantif hanya akan menjadi jargon normatif. Oleh karena itu, perlu ada konsistensi antara desain regulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan (far)
