Surabaya 29 Juli 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Kasus mantan prajurit TNI AL yang jadi tentara bayaran Rusia di Ukraina dan kini memohon dipulangkan ke Indonesia memantik berbagai respons masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Dosen Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Radityo Dharmaputra SHubInt MHubInt RCEES IntM MA PhD (Cand.) turut memberikan pandangan.
Menurutnya, kasus ini terbilang unik karena mengungkapkan kompleksitas status dan konsekuensi hukum yang seharusnya pelaku hadapi. Radityo menyoroti pelanggaran berat atas tindakan yang dilakukan oleh mantan TNI tersebut berdasar pada alasan kebutuhan ekonomi.
“Ini hal yang menarik, terutama karena alasan yang diberikan oleh yang bersangkutan adalah kebutuhan ekonomi. Jangan lupa bahwa pelaku adalah desersi, yang berarti ia meninggalkan dinas aktif sehingga akhirnya dia dipecat oleh TNI AL dan sebetulnya seharusnya menjalani hukuman denda serta penjara di Indonesia,” jelasnya.
Kehilangan Kewarganegaraan
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006, Radityo menyebutkan bahwa pelaku yang berperang untuk negara lain tanpa izin presiden secara otomatis kehilangan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Lebih lanjut, UU No. 12 Tahun 2006 Pasal 23 yang dioperasionalisasi oleh PP No. 2 Tahun 2007 menegaskan bahwa WNI “dengan sendirinya” kehilangan kewarganegaraan ketika perbuatan itu terjadi.
“Kalau ia mercenaries (tentara bayaran, red), ia tidak bisa punya status otomatis sebagai kombatan atau tahanan perang. Sehingga, kalau ada apa-apa, dia tidak punya hak dan sangat tergantung pada negara yang menangkap. Kalau dia foreign fighters di bawah angkatan bersenjata Rusia, dan Kemhan Rusia, berarti dia dianggap kehilangan WNI-nya, sebagaimana warga kita yang bergabung jadi tentara di negara seperti AS,” ungkapnya.
Imbasnya, kewajiban Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk memberi perlindungan diplomatik pun gugur. Ia menerangkan bahwa Kemlu hanya dapat memantau pergerakannya. “Justru, Kemlu harusnya jelas memberitahu yang bersangkutan bahwa kewarganegaraannya sudah hilang karena dia melakukan tindak pidana berperang demi negara lain,” imbuhnya.
Bukan Masalah Besar
Radityo juga menekankan bahwa pelaku sudah sepatutnya tidak perlu dipulangkan. Menurutnya, fenomena semacam ini merupakan masalah kecil yang tidak mengganggu hubungan kedua negara. “Tentara dan Kemhan kita lumayan dekat dengan Rusia. Dan kalau masalahnya kecil begini apalagi dia sudah desersi dan sudah dipecat, dan kehilangan kewarganegaraannya, malah tentara dan Kemhan bisa lepas tangan,” ujarnya.
Pada akhir, Radityo menuturkan perlu adanya edukasi kepada masyarakat di negara lain hanya karena uang karena memiliki risiko yang sangat tinggi. Pemerintah juga perlu mencari akar dari permasalahan ini. “Kalau ternyata pendapatan yang kecil dari TNI, perlu ada upaya menyejahterakan. Kalau ternyata judol, perlu ada upaya keras memberantas. Kalau ideologis dan karena ingin saja, ya justru perlu dihukum tegas dengan pencabutan kewarganegaraan. Kasus yang ini bisa jadi pelajaran, agar warga kita tidak menggampangkan pergi berperang di negara lain,” tegasnya. (nis)