Surabaya 8 September 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Situasi politik Indonesia kembali memanas setelah terjadinya demonstrasi pada pekan lalu. Demo yang didasari atas kenaikan tunjangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang dinilai merugikan masyarakat itu terjadi di seluruh penjuru Indonesia hingga muncul seruan pembubaran DPR. Rakyat menuntut penghapusan tunjangan DPR di tengah gejolak ekonomi Indonesia.
Menanggapi gejolak ini, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Mohammad Syaiful Aris SH MH LLM angkat bicara. Menurutnya seruan tersebut dapat dipahami sebagai kritik positif untuk mendorong perubahan pada lembaga DPR agar dapat secara optimal mengawal aspirasi rakyat.
“Sangat dapat dipahami adanya tuntutan ini karena DPR menurut beberapa lembaga survei sering sebagai juara lembaga yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat karena perilaku anggotanya yang sering terjerat kasus korupsi dan kinerjanya tidak jelas. Rakyat tentunya menuntut agar terdapat perubahan pada kinerja dari DPR ke arah yang lebih baik,” ungkapnya.
Pembubaran DPR
Meskipun banyak seruan dari pendemo, Aris menyebut pembubaran DPR secara konstitusi tidak dapat dilakukan karena DPR merupakan salah satu cabang kekuasaan legislatif sehingga fungsi legislatif atau pembuatan undang-undang berada pada kekuasaan DPR. UUD NRI 1945 Pasal 7C menegaskan kedudukan DPR sebagai salah satu lembaga
negara yang dilindungi oleh konstitusi sehingga Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
“Fungsi DPR dalam bernegara sangat signifikan karena memiliki 3 fungsi utama yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan yang secara konstitusi tidak dimiliki oleh lembaga lainnya. Terlebih pada Pasal 2 ayat 1 UUD NRI 1945 menunjukan memang DPR bagian dari MPR sehingga akan mustahil membubarkan DPR secara konstitusi,” ungkapnya.
Eskalasi Darurat Militer
Menyusul gejolak yang terjadi, kini masyarakat kembali dihadapkan dengan adanya potensi darurat militer yang akan diterapkan apabila terjadi ketegangan massa yang lebih intens. Aris menyebut bahwa Presiden dapat memberlakukan darurat militer apabila dirasa keadaan bahaya dapat mengancam negara dan tidak dapat diatasi oleh perlengkapan militer biasa.
“Menurut UUD NRI Pasal 12, Presiden sebagai kepala negara merupakan panglima tertinggi Angkatan Bersenjata dan memiliki kewenangan menyatakan keadaan bahaya yang mengancam keamanan di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Indonesia. Contohnya pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa,” ungkapnya.
Aris juga menyebut bahwa darurat militer akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat karena secara hukum akan dilakukan pembatasan-pembatasan hak masyarakat bahkan dapat dilakukan penyimpangan secara hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga hak rakyat dan keadaan ekonomi akan sangat dipengaruhi apabila diberlakukan darurat militer. “Pemerintah harus melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan Amanah konstitusi. Masalah-masalah berbangsa harus diselesaikan secara jelas dan pasti. Penyelenggara negara/pejabat harus memberikan contoh nyata upaya perbaikan. Perubahan penting kedepan setidaknya dapat dimulai dengan reformasi partai politik dan reformasi aparat penegak hukum di Indonesia,” ungkapnya