Surabaya 20 Juni 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Belakangan ini, tagar #JusticeFor ramai berseliweran di linimasa media sosial. Diikuti oleh beragam nama, tagar ini bukan sekadar ungkapan solidaritas, melainkan cerminan kegeraman publik atas dugaan ketimpangan hukum. Polanya nyaris seragam, kasus yang melibatkan anak atau kerabat pejabat, proses hukum yang berjalan lambat, tertutup, bahkan menguap begitu saja. Menanggapi hal itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Amira Paripurna S H LL M Ph D, menuturkan bahwa terdapat sejumlah pola yang kerap muncul saat suatu proses hukum telah mengalami intervensi.
Transparansi Proses Hukum
“Salah satunya adalah tidak transparannya proses hukum. Informasi mengenai perkembangan perkara kerap kali tak dibuka ke publik. Penyelidikan bisa berlarut-larut tanpa alasan yang jelas, bahkan sejumlah alat bukti seperti CCTV, jejak digital, atau hasil visum tiba-tiba dinyatakan hilang atau tidak diakui,” jelasnya.
Amira juga menyebut bahwa penetapan tersangka kerap tidak segera dilakukan meski telah ada bukti awal yang cukup. Lebih dari itu, di era digital seperti saat ini, ia mengingatkan bahwa bisa saja muncul narasi tandingan yang sengaja dibentuk untuk menyudutkan korban kejahatan.
Keterbatasan Komisi Negara
Namun, ketika publik berharap pada komisi negara seperti Komnas HAM atau Komisi Yudisial, ada realitas lain yang perlu dipahami. “Kewenangan lembaga-lembaga ini memang penting, tetapi terbatas. Mereka tidak bisa membatalkan putusan atau memaksa lembaga lain. Rekomendasi yang mereka keluarkan pun tidak memiliki daya paksa,” ujar Amira. Kendati begitu, keberadaan lembaga tersebut tetap penting sebagai alat kontrol publik dan moral terhadap integritas penegakan hukum.
Komnas HAM, misalnya, bisa berperan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia dalam proses hukum, terutama bila ada indikasi penyiksaan, intimidasi, atau diskriminasi terhadap korban dan saksi.
Peran Strategi Kampus
Menurutnya, peran kampus juga tak kalah penting. Amira menilai bahwa universitas dapat menjadi jembatan akses keadilan bagi masyarakat, terutama kelompok rentan.
“Bantuan hukum kampus bisa hadir dalam berbagai bentuk, seperti penyuluhan hukum (legal literacy), layanan konsultasi dan pendampingan hukum gratis, hingga litigasi strategis untuk mendorong perubahan kebijakan melalui kasus tertentu,” paparnya. Tak hanya itu, kampus juga bisa melakukan advokasi hukum berbasis riset, mempublikasikan opini publik, serta mengawal jalannya kasus-kasus strategis yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Dalam hal menjaga independensi penegakan hukum, menurut Amira, Korea Selatan patut dicontoh. Lembaga mereka seperti Anti-Corruption and Civil Rights Commission sering disebut sebagai salah satu model terbaik di Asia.
“Lembaga tersebut efektif dalam memberantas korupsi dan menjamin perlindungan hak-hak sipil. Meski sistem kita berbeda, prinsip transparansi dan partisipasi publik mereka bisa diterapkan di Indonesia,” pungkasnya. (naf)