Surabaya 22 Oktober 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Universitas Airlangga (UNAIR) kembali menambah jajaran guru besar barunya. Pengukuhan tersebut berlangsung pada Rabu (22/10/2025) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C. Prof Dr Ahmad Rizki Sridadi SH MM MH dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) resmi menyandang gelar guru besar dalam bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia.
Dalam pidato ilmiahnya, Prof Rizki menyoroti pentingnya pengelolaan risiko sumber daya manusia (SDM) dalam menjaga sustainable perusahaan di era digital. Menurutnya, pengelolaan risiko SDM merupakan bagian strategis dalam menciptakan organisasi yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan lingkungan bisnis yang cepat.
Tantangan Manajemen Risiko SDM di Era Gig Economy
Prof Rizki menjelaskan bahwa risiko merupakan ketidakpastian yang melekat pada setiap keputusan bisnis. Sayangnya, dalam praktiknya, manajemen risiko selama ini lebih banyak berfokus pada aspek keuangan, bukan pada sumber daya manusia. “Manajemen risiko sumber daya manusia (HR Risk Management) merupakan proses sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengendalikan risiko yang berhubungan dengan orang-orang dalam organisasi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa gig economy membawa perubahan besar dalam hubungan kerja. Di mana fleksibilitas tidak hanya menjadi nilai utama, tetapi juga menimbulkan tantangan baru. Pekerja digital sering menghadapi ketidakjelasan status, ketidakpastian pendapatan, dan keterbatasan akses terhadap jaminan sosial. Kondisi tersebut menuntut organisasi untuk memiliki sistem manajemen risiko SDM yang responsif dan berkeadilan.
“Gig economy tidak hanya menuntut efisiensi, tetapi juga keseimbangan antara fleksibilitas dan perlindungan pekerja. Dalam konteks ini, perusahaan harus memastikan bahwa sistem yang terbangun tidak sekadar menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjaga keberlanjutan tenaga kerjanya,” urai Prof Rizki.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Perusahaan
Lebih lanjut, Prof Rizki menyoroti berkembangnya algorithmic management, yaitu penggunaan algoritme untuk mengatur dan mengawasi pekerjaan. Menurutnya, pendekatan ini memang meningkatkan efisiensi dan objektivitas, tetapi juga menghadirkan permasalahan baru. “Permasalahan yang muncul antara lain berkaitan dengan akuntabilitas, transparansi, desain kompensasi, feedback, dan kurangnya regulasi tentang saluran suara pekerja,” paparnya. Sebagai rekomendasi, Prof Rizki mendorong pemerintah untuk memperjelas status hukum pekerja digital dan menetapkan kebijakan transparansi algoritme. Sementara bagi perusahaan, ia menegaskan pentingnya tata kelola yang akuntabel serta peningkatan aspek keselamatan dan kesehatan kerja. Langkah-langkah tersebut, lanjutnya, akan memperkuat daya saing perusahaan sekaligus menjamin keberlanjutan tenaga kerja.(nis)