Surabaya 30 April 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Ukraina kembali menerima serangan rudal dari Rusia pada pekan lalu setelah menolak usulan Amerika Serikat (AS) memberikan wilayah Crimea pada Rusia. Serangan pada pekan lalu terjadi setelah beberapa jam Presiden AS, Donald Trump, mengkritik keras sikap Ukraina yang menolak pendudukan Rusia di wilayah Crimea.
Menanggapi situasi yang kembali memanas itu, Pakar Bidang Ilmu Politik dan Keamanan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Airlangga (UNAIR), Prof I Gede Wahyu Wicaksana SIP MSi PhD menyampaikan pendapatnya.
Tidak Realistis
Prof Wahyu menyatakan bahwa saran yang diberikan AS untuk menyerahkan wilayah Crimea ke Rusia sangat tidak realistis. Menurutnya, dimensi konflik antara Rusia dan Ukraina sangatlah kompleks. Masalah perebutan wilayah Crimea telah terjadi sejak era Uni Soviet karena adanya perbedaan etnik yang ada di wilayah tersebut.
“Dimensi konflik yang kompleks antara etnik yang ada di wilayah tersebut, menjadikan Crimea sangat rawan diperebutkan. Preferensi politik antara warga pro Rusia dan pro Ukraina juga menjadi suatu polemik yang rumit. Penyerahan wilayah ke salah satu pihak dapat menimbulkan masalah baru,” ungkapnya.
Faktor Geopolitik
Prof Wahyu menyebut bahwa wilayah Crimea dapat menjadi wilayah perluasan politik bagi Rusia. Secara geopolitik, wilayah yang meluas dapat memperluas pengaruh politik bagi suatu negara. Karena itu, hal tersebut menjadi suatu hal yang krusial bagi bangsa Eropa, terlebih pendudukan di Crimea dapat memberikan keuntungan besar bagi Rusia.
“Lain halnya dengan apabila Ukraina kehilangan wilayah Crimea, maka artinya Ukraina sudah kalah. Zelensky sebagai presiden akan dinilai gagal dalam mempertahankan wilayah negaranya. Tentunya hal tersebut menjadi krusial karena akan diikuti dengan munculnya masalah ekonomi, sosial dan lainnya,” ungkapnya.
Saat ini Ukraina sudah tidak memiliki pilihan apapun selain bertahan. Hal itu diperkuat dengan sikap Eropa yang tidak mendukung dan AS yang menolak melanjutkan mediasi Rusia dan Ukraina. Selain itu, konflik yang rumit ini juga memerlukan sumber daya yang besar dalam mediasinya sehingga posisi Ukraina menjadi sangat terpojok.
“Sejak awal Ukraina nampaknya sudah salah perhitungan dengan jumawa mengandalkan AS dan Nato. Saat ini dengan sikap negara Eropa dan AS yang tidak bisa diharapkan, maka tidak ada lagi yang dapat mengontrol Putin, terlebih dukungan dari China juga datang untuk Rusia. Untuk itu nampaknya akhir rezim Zelensky hanya tinggal menunggu waktu saja,” pungkasnya. (far)