More
    BerandaTeknologiProfesor ITS Gagas Optimalisasi Pengelolaan SDA menuju Indonesia Emas 2045

    Profesor ITS Gagas Optimalisasi Pengelolaan SDA menuju Indonesia Emas 2045

    Penulis

    Tanggal

    Kategori

    Surabaya 19 Agustus 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia menjadikan kesempatan sekaligus tantangan untuk menuju Indonesia Emas 2045. Meninjau tantangan tersebut, Guru Besar ke-222 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Sigit Tri Wicaksono SSi MSi PhD mengkaji pengoptimalan pengelolaan SDA untuk kemandirian bangsa menuju Indonesia Emas 2045.

    Sigit memaparkan, Indonesia memiliki beragam kekayaan alam berupa flora dan fauna melimpah yang mempunyai kombinasi unik di Asia-Afrika. Tak hanya itu, pada tahun 2024 produksi nikel di Indonesia sebesar 2,2 juta ton yang setara dengan 59,46 persen produksi nikel global. “Angka tersebut menunjukkan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangat melimpah,” ujarnya.

    Dalam orasi ilmiahnya, Sigit menuturkan bahwa ada tiga kunci pada bidang keilmuan yang ia tekuni. Yakni bahan alam sebagai objek keilmuan, lalu fungsional merupakan proses peningkatan nilai tambah, dan terakhir rekayasa adalah langkah sistematis dalam proses fungsional. “Tiga kunci ini bila dilakukan secara optimal akan menambah nilai jual yang berdaya saing tinggi,” ungkap profesor bidang keilmuan rekayasa fungsional bahan alam tersebut.

    Untuk pengoptimalan bahan mentah yang berdaya saing tinggi, guru besar dari Departemen Teknik Material dan Metalurgi ITS ini memaparkan bahwa ada dua proses yang dapat dilakukan, yaitu synthesizing/refining dan fungsionalisasi. “Kedua kebaruan keilmuan ini dapat membantu masyarakat dalam mengelola kekayaan SDA di Indonesia,” tuturnya.

    Lebih lanjut, dalam synthesizing/refining terbagi menjadi dua proses lagi, yaitu co-precipitation yang melibatkan proses kimia dan fisika, serta electrolysis yang melibatkan proses elektro, kimia, dan fisika. Pada prinsip co-precipitation, proses reaksi kimia berupa pelarutan seperti ionisasi atau dekomposisi material menjadi kation-anion, selanjutnya rekomposisi menjadi senyawa baru yang terkontrol diikuti dengan proses fisika berupa pengendapan.

    Melanjutkan pemaparannya, Sigit menjelaskan, electrolysis merupakan proses dekomposisi yang menggunakan arus listrik. Selanjutnya rekomposisi, yaitu suatu proses pembentukan senyawa baru yang terkontrol dengan proses pengendapan dan penyaringan. “Perbedaan di antara kedua proses terletak pada penggunaan arus listrik pada rangkaian prosesnya,” tegasnya.

    Selain synthesizing/refining, kebaruan keilmuan fungsional pun terbagi menjadi dua proses, yaitu compositing dan doping. Compositing sendiri merupakan proses penggabungan dua bahan atau lebih untuk menghasilkan bahan terbaru yang sifatnya berbeda dari bahan sebelumnya. “Proses ini membuat satu bahan sebagai bahan perekat tetapi material lain sebagai penguat,” terang alumnus Fisika ITS tersebut.

    Berbeda dengan compositing, doping merupakan pemasukan bahan tambahan ke dalam bahan utama tanpa mengubah struktur dari bahan utama tersebut. Ia menuturkan, proses yang dilakukan harus secara sistematis untuk mendapatkan hasil agar memenuhi suatu kebutuhan dengan ranah yang lebih luas. “Proses tersebut dapat disebut sebagai rekayasa,” ucapnya.

    Lelaki kelahiran 1978 tersebut menjelaskan, kebaruan keilmuan telah diterapkan untuk menghasilkan bahan Fe3O4 atau magnetite dengan bahan pasir besi alam yang didapatkan dari pantai selatan Pulau Jawa dan beberapa sungai di pegunungan daerah Malang. “Dengan memanfaatkan arus listrik berdaya kurang lebih 108 watt, saya berhasil mengekstrak Fe3O4,” jelasnya.

    Menurut Sigit, kebermanfaatan kebaruan ilmu ini dapat menjadi referensi bagi para ilmuwan dan peneliti di bidang pemanfaatan bahan alam agar optimal, serta praktisi pemanfaatan SDA di Indonesia untuk peningkatan performa produk dalam negeri. Hal tersebut sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-9 tentang infrastruktur, industri, dan inovasi serta poin ke-11 tentang kota dan komunitas yang berkelanjutan. Menutup orasi ilmiahnya, lelaki asal Pasuruan tersebut menegaskan, rekayasa fungsional bahan alam adalah wujud nyata kontribusi ilmu pengetahuan terhadap kemandirian bangsa. Melalui pendekatan ini, Indonesia tidak hanya mampu mengelola kekayaan alamnya secara bijak dan berkelanjutan, tetapi juga mengarah pada pencapaian Indonesia Emas 2045 yang berdaulat, mandiri, dan berdaya saing tinggi di kancah global. (bri)

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini
    Captcha verification failed!
    Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

    Artikel Terbaru