Surabaya 31 Juli 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Warung bakso Lesehan Hijau di Desa Sraten, Kecamatan Cluring terlihat meriah. Para pengunjung tak hanya menyantap gurihnya kuah bakso, tapi juga mengikuti serunya Tour de Banyuwangi Ijen (TdBI). Mereka menyaksikan keseruan para pembalap dunia beradu cepat di jalanan bumi Blambangan.
Abdullah, sang pemilik warung, sengaja memutar siaran langsung TdBI dari chanel Youtube Kabupaten Banyuwangi. Dengan layar sebesar 32 inci, penonton dengan nyaman mengikuti aksi Jeroen Meijers dan lainnya. “Sampai empat hari kita akan nobar,” kata Abdullah.
“Sudah jadi kebiasaan. Kalau TdBI digelar, pasti kita nobar di sini. Tahun kemarin kita bahkan pakai speaker, tapi sekarang rusak,” cerita Abdullah, pemilik warung yang juga penggemar tim BRCC, tim sepeda asal Banyuwangi.
Sudah 10 tahun dilaksanakan, masyarakat Banyuwangi punya cara sendiri menikmati gelaran balap sepeda ini. Ada yang menunggu di pinggir lintasan sejak pagi, ada yang menyimak lewat layar ponsel sambil bekerja, ada pula yang sengaja datang ke lokasi-lokasi rute pembalap demi menyaksikan para pembalap terbaik melaju kencang.
Bagi warga, TdBI bukan lagi sekadar tontonan. Ini sudah jadi bagian dari ritme tahunan, event yang ditunggu-tunggu. Bahkan mereka yang lintasannya tidak dilalui pun tetap menyempatkan diri untuk menyaksikan langsung.

“Saya tinggal di Kecamatan Genteng, jalan rumah saya nggak dilewati balapan. Tapi saya tetap datang ke Sraten, khusus buat nonton. Saya akan ke Ijen, melihat tanjakan langsung,” ujar Ismail, seorang guru SD yang terlihat sangat antusias.
Hal serupa dirasakan Sukirno, warga Desa Jelun, yang ikut bersorak saat konvoi pembalap melintas. “Ayo Mister! Jangan sampai disalip!” serunya sambil tertawa bersama warga lain. Di sudut lain, Agus, pedagang buah dari Siliragung, hanya bisa tersenyum meski balapan tak melewati kampungnya. “Seneng lihatnya, tapi sayang nggak lewat rumah,” katanya.
Bagi pemerhati sosial Banyuwangi, Ir. KH. Ahmad Wahyudi, TdBI bukan sekadar event olahraga. Ada semacam energi kolektif yang tumbuh dari interaksi warga dengan kegiatan ini. “Warga rela berdiri berjam-jam di pinggir jalan, hanya untuk memberi semangat. Ini bukan perilaku biasa. Mereka ikut merasa memiliki,” ujarnya.
Ia menambahkan, efek non-material dari TdBI jauh lebih besar dari yang terlihat. Anak-anak terinspirasi, masyarakat belajar tertib dan disiplin, dan semua merasakan kebanggaan menjadi tuan rumah event internasional.
“Yang mahal itu bukan cuma nilai ekonominya, tapi nilai sosialnya. Ini menggerakkan semangat gotong royong dan membuka cara pandang baru bagi generasi muda,” tegasnya.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menyebut bahwa TdBI telah menjadi bagian dari “tradisi” masyarakat. “TdBI bukan hanya sekadar ajang balap, tapi sudah menjadi peristiwa budaya. Masyarakat merayakannya dengan sukacita, dan itu menunjukkan bahwa mereka telah menyatu dengan semangatnya,” ujarnya.
Memasuki tahun ke-10 penyelenggaraan, Tour de Banyuwangi Ijen bukan lagi sekadar lomba. Ia telah menjelma menjadi bagian dari identitas. Para pembalap tak hanya disambut dengan tepuk tangan, tapi juga dengan rasa bangga dari masyarakat Banyuwangi yang menyaksikan dan merayakan dari mana pun mereka berada. (her)