Surabaya 09 Juli 2025 | Draft Rakyat Newsroom – Universitas Airlangga (UNAIR) menjadi sorotan dalam laporan terbaru Research Integrity Risk Index yang menyebutkan kampus ini masuk ke dalam zona merah. Zona tersebut mengindikasikan tingkat integritas riset dan publikasi ilmiah yang dipandang rendah oleh pemeringkatan internasional tersebut.
Strategi Sistematik UNAIR
Ketua Lembaga Inovasi, Pengembangan Jurnal, Penerbitan dan Hak Kekayaan Intelektual (LPJPHKI) UNAIR, Prof Hery Purnobasuki M Si Ph D bahwa UNAIR telah menjalankan berbagai langkah strategis untuk memperkuat budaya publikasi yang beretika dan berkualitas. Di antaranya adalah penerapan SOP Etika Publikasi, yang disertai edukasi dan pendampingan aktif kepada dosen dan peneliti. Selain itu, UNAIR juga menggelar workshop rutin dan penyusunan buku terkait etika publikasi untuk pegangan dosen.
Sementara itu, program UNAIR Menulis yang berlangsung rutin setiap pekan menjadi sarana penting untuk membina penulis menargetkan jurnal bereputasi dan menghindari jurnal predator. Upaya ini juga didukung oleh Tim e-IPKI, yang bertujuan membantu dan mengintervensi publikasi bermasalah sejak awal.
“Sebagai bentuk kepedulian universitas untuk menyediakan wadah publikasi yang tidak hanya bergantung ke jurnal di luar negeri, UNAIR juga telah mengelola 20 jurnal terindeks scopus dengan rentang kuartil Q1 hingga Q4,” paparnya.
Lonjakan Kualitas Publikasi
Sejak 2017, UNAIR menunjukan transformasi signifikan dari segi publikasi ilmiah, dari semula berorientasi kuantitas menuju penekanan kuat pada kualitas. Hingga 2025, lebih dari 45 persen publikasi UNAIR telah terbit di jurnal top 50 persen (Q1-Q2) dan 72 persen di jurnal top 75 persen (Q1-Q3). Tak hanya itu, publikasi di jurnal Q1 telah mencapai 23,9 persen dan menunjukan tren peningkatan tahunan.
“Kita tidak hanya produktif, tapi juga makin berdampak. Hari ini sudah lebih dari 22.751 paper UNAIR terindeks Scopus,” jelas Prof Hery.
Namun, berkaitan dengan laporan Research Integrity Index, Ketua LIPJPHKI UNAIR menyampaikan bahwa evaluasi dari luar harus disandingkan dengan data internal dan proses pembenahan yang tengah berlangsung di lingkungan kampus.
“Kita tidak menampik ada data seperti itu, tetapi jumlah yang disebutkan terlalu besar dan tidak sesuai dengan data internal kami. Kalau disebut ada 5.000 artikel bermasalah, di data kami hanya ada sekitar 2.000-an,” ujarnya.
“Dulu kita baru belajar. Banyak mahasiswa butuh publikasi untuk syarat kelulusan, dan para dosen pun mengejar kinerja. Waktu itu banyak jurnal terlihat aman, tapi kemudian di diskontinu oleh Scopus,” ungkapnya. (far)