Surabaya 16 Juni 2025 | Draft Rakyat Newsroom – World Bank mengeluarkan data garis kemiskinan global menggunakan dasar perhitungan purchasing power parities (PPP) 2021. Dari perhitungan ini, World Bank menetapkan ada lebih dari 190 juta warga miskin di Indonesia. Sementara menurut perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), warga miskin di Indonesia pada 2024 hanya sekitar 24 juta saja.
Perbedaan yang tajam ini menimbulkan pro kontra. Hal ini karena urgensi akan data yang tepat guna membentuk kebijakan ekonomi yang tepat. Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan tanggapannya.
Pola Konsumsi yang Berubah
Pada dasarnya, BPS menggunakan perhitungan berdasarkan kebutuhan dasar dalam menghitung kemiskinan. Adapun kebutuhan itu itu dibedakan menjadi kebutuhan makanan dan nonmakanan. Kebutuhan makanan ditetapkan harus memenuhi minimal 2.100 kalori, sementara kebutuhan nonmakanan meliputi sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
“Sebenarnya perhitungan BPS sekarang ini sudah kuno. Karena perhitungan 2.100 kalori ini sudah tidak layak menurut saya untuk kategori makanan. Harusnya bagaimana menghitung garis kemiskinan itu ya tentang bagaimana hidup dengan layak. Ya miskin tapi nggak layak sama saja menuju pada kematian,” ungkap Rossanto.
Menurut Rossanto, pemerintah harus meningkatkan standar garis kemiskinan. Alih-alih menghitung dengan cara yang seminimal mungkin, pemerintah harus menetapkan kehidupan ‘miskin’ dengan standar yang manusiawi. Jadi, walaupun seseorang dikategorikan miskin, mereka masih hidup dalam kondisi layak.
Standar Kemiskinan yang Harus Diperbarui
Di samping itu, perilaku konsumsi masyarakat kini juga sudah berubah. Kebutuhan nonmakanan seperti paket internet telah menjadi kebutuhan sentral untuk tetap terhubung dengan ‘dunia’. Maka dari itu, ada banyak indikator lain yang perlu dipertimbangkan dan ditingkatkan dalam penghitungan standar garis kemiskinan.
“Jadi kalau pemerintah mau fair, untuk perhitungan garis kemiskinan yang baru itu harus diubah standar hidupnya. Kalau belum mampu memberikan kehidupan yang layak, ya kita fair saja untuk mengatakan yang mampu diintervensi hanya sekian. Kalau sudah nggak sesuai lagi (red: standar kemiskinan) dengan standar hidup yang sekarang, ya pemerintah harus mengubah dengan standar hidup yang lebih layak,” paparnya.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah tidak perlu malu untuk mengubah standar kemiskinan demi memberikan kebijakan yang lebih tepat. “Kalau kita memang ingin menjadikan negara kita negara yang berkeadilan sosial maka treatment kita, spektrumnya harus lebih luas lagi. Jangan sampai kita bangga menjadi negara berpendapatan menengah ke atas tapi memperlakukan warga seperti negara berpendapatan rendah,” pungkasnya. (naf)