Surabaya 29 Februari 2024 | Draft Rakyat Newsroom- Kasus perundungan kian hari makin merajalela, terutama di kalangan remaja. Baru-baru ini kasus perundungan di sekolah kembali mencuat di khalayak publik. Merespon hal ini, Margaretha SPsi PGDip Psych MSc, ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental UNAIR memberikan tanggapannya. Ia menyampaikan dalam risetnya pada remaja usia sekolah ditemukan sekitar 40 persen siswa pernah melihat atau terlibat di dalam perundungan.
Margaretha menilai masih banyak kesalahan pikir yang mana orang mengira perundungan adalah hal yang biasa terjadi di antara anak dan remaja, atau disamakan seperti perselisihan antar teman. Menurutnya, perundungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental korban, dan juga memperburuk kondisi psikologis pelaku.
“Perundungan adalah tindakan agresi, yaitu penggunaan kekerasan dari seseorang kepada yang lainnya. Artinya ada pelaku dan ada korban. Kekerasan digunakan secara berulang, bisa dalam bentuk fisik, verbal, emosional, eksploitasi ekonomi, dan penelantaran, serta juga bisa dilakukan secara online. Selain itu, di sosial media seseorang bisa menggunakan identitas palsu dan merasa bisa menjadi siapa saja serta melakukan apapun termasuk trolling; akibatnya orang seperti inilah yang melakukan perundungan online, atau cyber bullying,” jelas Margaretha dalam wawancara UNAIR NEWS.
Penyebab Bullying
Lebih lanjut, Margaretha memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi pelaku perundungan. Salah satunya adalah karena mereka belajar menggunakan kekerasan dari rumah atau di interaksi sosial mereka.
“Jadi misalnya anak mengalami kekerasan di rumah. Apabila mereka tidak suka terhadap sesuatu, maka mereka akan memukul atau menggunakan kekerasan. Hal ini masuk dalam alam berpikirnya,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa faktor lingkungan yang juga mempengaruhi adalah perilaku teman sebaya. Ia menilai bahwa pelaku perundungan tersebut berawal dari rasa tidak suka kepada temannya, yang kemudian dilampiaskan dalam bentuk kekerasan.
“Selain itu, pelaku perundungan biasanya adalah orang yang kurang cakap menyelesaikan persoalan pribadi dan sosialnya, sehingga mereka menggunakan tindakan kekerasan sebagai cara yang sebenarnya tidak efektif, atau kekerasan sebagai pengalihan akibat tidak bisa menyelesaikan persoalan,” imbuh Margaretha.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat seseorang beresiko tinggi menjadi korban perundungan, antara lain kurangnya dukungan sosial, kelemahan penyelesaian konflik, serta memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas.
“Semua orang bisa mengalami agresi, tapi yang biasanya jadi korban lebih lama adalah mereka yang lebih lemah secara sosial, atau mereka yang punya disabilitas. Contohnya, siswa dengan disabilitas di sekolah inklusi rentan mengalami bullying” papar Margaretha.
Tidak semua korban perundungan menjadi trauma, lanjut Margaretha, hal ini tergantung pada bagaimana mereka menyelesaikan masalah dan mendapatkan bantuan. Ia menambahkan, melapor adalah salah satu cara untuk menghentikan perundungan.
“Sebenarnya kalau kita melihat bullying, seharusnya kita menjadi saksi yang melaporkan atau menghentikan. Jadi bukan menjadi pengamat saja (atau bystander effect), tapi menjadi agent of change. Kita harus berani menyatakan stop bullying, we have to speak up dan jangan mempermaklumkan bullying” ujar Margaretha.
Margaretha juga menjelaskan, gejala trauma akibat perundungan tampak bervariasi setiap individu. Contohnya, dari rasa takut dan menarik diri, atau menjadi lebih reaktif/sensitif. Namun, secara umum, mereka yang mengalami trauma akan menjadi sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari, menghadapi situasi sosial, atau mengatasi kecemasan dirinya. “Misalkan anak menghindari sekolah karena di sekolah dia bully. Para korban bullying juga bisa mengalami kecemasan berlebih, kesulitan tidur, mimpi buruk, hingga penurunan nilai akademik. Bahkan, terdapat beberapa kasus berat yang mengarah kepada depresi dan berniatan untuk mengakhiri hidup. Walaupun tidak semua seperti itu,” papar Margaretha.(naf)